Minggu, 27 Juni 2021

BAB IV LAYU SEBELUM BERKEMBANG : MENGHIDUPKAN KEMBALI INDUSTRI SERAT (1942-1996)

BAB IV LAYU SEBELUM BERKEMBANG : MENGHIDUPKAN KEMBALI INDUSTRI SERAT (1942-1996)

            Pada periode 1940 an merupakan masa yang tidak stabil. Perubahan kepemimpinan dan peraturan berlangsung secara cepat. Pemerintah Hindia Belanda terpaksa menyerahkan otoritasnya kepada pemerintahan jepang.

A.    Mento Toelakan Masa Pendudukan Jepang

            Pada 1942, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perjanjian menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah militer jepang. Pasukan KNIL dan Legiun Mangkunegaran yang bertugas sebagai pasukan pengamanan  tidak dapat menahan gempuran pasukan jepang. Kota Surakarta pun dikuasai jepang. Wilayah Vorstenlanden ditetapkan sebagai kochi dan Mangkunegaran Kochi d Surakarta. Kebijakan awal dari pemerintah pendudukan jepang adalah merubah status hubungan antara penguasa lokal dengan pemerintahan militer jepang. Paku Buwana XI (1939-1945) disebut sebagai Surakarta Koo dan Mangkunegara VII (1916-1944) disebut sebagai Mangkunegaran Koo. Kedua penguasa lokal ini statusnya berada di bawah Dai Nippon Gunshireikan (Panglima Besar Dai Nippon ). Pemerintah militer berkeinginan agar mereka mau bekerja sama dengan jepang.

            Pengambilan tanah diatur oleh undang-undang No 17 tanggal 1 Juni 1942. Adanya perubahan kebijakan mengenai sistem sewa tanah dan juga pengelolaan perkebunan berdampak pada Ondernaming Mento Toelakan. Perkebunan Mento Toelakan masih sejalan dengan program jepang dalam pengembangan usaha yang diperlukan untuk keperluan perang. Pemerintahan jepang terus berupaya mengembangkan perkebunan serat demi kepentingan perang di Kawasan Asia Timur Raya. Ada beberapa jenis serat yang dikembangkan pad masa jepang, diantaranya yute jawa, rosela, rami, dan sisal (Agave sisalana). Kecocokan lahan mento toelakan dengan tanaman serat segera menjadi andalan pemerintah militer jepang untuk memproduksikan serat dalam skala besar. Untuk itu, pemerintah pendudukan jepang mewajibkan penduduk menenam rami, rosela dan kapas di Mento Toelakan. Kekurangan sandang pada masa pendudukan jepang cukup parah. Penduduku bumi putra menggunakan kain goni yang biasanya digunakan sebagai karung hasil pertanian atau perkebunan digunakan sebagai pakaian.

            Sistem pengairan yang buruk menimbulkan permasalahan serius di perkebunan Mento Toelakan, khususnya pada musim kemarau. Pada 1944, Kawasan Wonogiri dilaporkan sangat minim curah hujan. Hal ini berdampak pada wilayah Wonogiri yang terdiri dari Kawasan gunung kapur sehingga menyebabkan banyak tanaman yang mengalami kematian atau gagal panen. Selain itu, masyarakat yang hidup di Mento Toelakan tidak merasakan manfaatnya karena semua produksi digunakan oleh jepang.

B.      Mento Toelakan Masa Revolusi

            Para pemuda progresif Indonesia berhasil memaksa Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproglamasikan kemerdekaan. Sementara itu, daerah Wonogiri mulai bergolak yang ditandai dengan kemunculan badan-badan perjuangan di daerah. Wilayah Mento Toelakan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Mangkunegaran turut berpengaruh. Perkebunan dan perusahaan serat Mento Toelakan diambil alih oleh pihak Mangkunegaran untuk dioperasikan. Sementara itu, kondisi Mangkunegaran sebagai penguasa di alam republic juga menghadapi masa yang sulit. Mangkunegaran kurang mampu menyesuaikan diri dan terjadi Gerakan anti swapraja. Pemerintah Republik mengambil jalan tengah supaya Gerakan anti swapraja tidak meluas dengan mengeluarkan Penetapan Pemerintah No 16/SD Tahun 1946 yang dikeluarkan pada 15 Juli 1946.

            Pada 19 Desember 1948 pasukan Belanda berupaya masuk ke wilayah Wonogiri. 20 Februari, pasukan Belanda menyerang wilayah pusat Wonogiri. Pasukan Belanda juga berusaha masuk ke Kawasan Mento Toelakan, namun mendapat perlawanan yang sengit dari pejuang. Jalan akses ke Mento Toelakan dirusak sehingga pasukan Belanda tidak dapat masuk ke Kawasan perkebunan. Seluruh kembatan yang menghubungkan Mento Toelakan dengan daerah lainnya dihancurkan. Factor selanjutnya yang membuat perkebunan mengalami kemunduran adalah sistem managerial. Perkebunan Mento Toelakan sudah terbiasa dengan kepemimpinan orang Eropa sebagaimana perkebunan lain pada masa colonial. Pada masa revolusi, sentiment-sentimen anti Belanda membuat para pekerja berdarah Eropa selalu berada dalam keadaan was-was walaupun perkebunan dilindungi oleh pasukan semut Ireng dan KNIL.

            Perkebunan Mento Toelkan tidak mampu bertahan lebih lanjut. Perusahaan – perusahaan Mento Toelakan memasuki titik nadir Ketika terjadi penjarahan yang dilakukan oleh masyarakat. Selain dilakukan di Kawasan pabrik, penjarahan juga meluas ke beberapa wilayah perkebunan. Perkebunan benar – benar tidak dapat beroperasi stelah penjarahan.

C.    Pembentukan Desa Wonoharjo

            Pada Akhir 1940-An, Terjadi Keruntuhan Perusahaan-Perusahaan Di Lahan Mangkunegaran Yang Menjadikan Kawasan Perkebunan Mengalami Kekosongan Pemerintah. Pada Perkembangannya, Perkebunan Mento Toelakan Terdiri Dari Beberapa Desa. Salah Satunya Adalah Desa Wonoharjo Yang Merupakan Desa Induk Atau Inti Dari Desa Yang Ada Di Perkebunan Mento Toelakan. Desa Wonoharjo Lahir Pada 1949. Arti Kata Wonoharjo Adalah Hutan (Serat Nanas) Yang Ramai. Terdapat Tiga Desa Yang Masuk Wilayah Kabupaten Wonogiri, Yaitu Wonoharjo, Manjung, Wonokerto, Dan Sonoharjo. Pemerintah Desa Wonoharjo Dipimpin Oleh Kepala Desa Dan Dibantu Oleh Staf Dan Juga Kepala Lingkungan Atau Dusun. Desa Wonoharjo Dibagi Menjadi 14 Desun Atau Lingkungan Yang Meliputi Ngasinan Etan, Ngasinan Kulon, Mento, Gondang Kurung, Setro, Gendaran, Blumbang, Gebung Etan, Gebung Kulon, Semanding, Blimbing, Toelakan, Bledo, Talun Ombo. Dusun Mento Dijadikan Sebagai Pusat Pemerintahan, Sedangkan Dusun Talun Ombo Dijadikan Sebagai Pusat Ekonomi Dan Pasar.

            Pusat Pemerintahan Desa Wonoharjo Mengalami Beberapa Kali Pemindahan. Pada 1949-1965 Pusat Pemerinta Atau Kantor Kepala Desa Berada Di Rumah Atau Tempat Yang Ditunjuk Oleh Kepala Desa. Pada 1965, Model Pusat Pemerintahan Nomaden Yang Mengikuti Domisili Kepala Desa Akhinya Berhenti. Pada Tahun Tersebut, Dusun Ombo Ditetapkan Sebagai Pusat Pemerintahan Desa Wonoharjo. Pada 1994, Pusat Pemerintahan Desa Dipindahkan Ke Dusun Gendaran. Lebih Lanjut Terdapat Beberapa Nama Tempat Yang Menggunakan Istilah Dari Perkebunan, Namun Tidak Dijadikan Sebagai Nama Dusun.

D.    Pembagian Tanah Perkebunan Mento Toelakan

            Lemah nanasan bekas Ondernaming Mento Toelakan menjadi lahan tidak bertuan kala Pemerintah Republik Indonesia menerapkan kebijakan nasionalisasi aset Mangkunegaran. Merasa status tanah tidak bertuan, lantas masyarakat perkebunan bekas pegawai perkebunan melakukan pembabatan atau mbengkeli nanasan atau dipatok. Tujuan pematokan adalah untuk mengolah lahan bekas perkebunan sebagai lahan pertanian masyarakat.

            Tanah yang didapatkan oleh individu atau keluarga rata-rata bisa mencapai 2,5 hektar karena jumlah penduduk di kawasan tersebut masih sedikit. Tanah hasil bengkelan warga kemudian diukur atau dipetakan oleh petugas atau mantan Hoffd Mandoor Martosandjojo untuk mengetahui batas-batas wilayah antar petani.

            Klaim atas tanah Mento Toelakan kemudian diurus secaara kolektif menjadi hak milik kepada Dinas Pertanahan atau Agraria Wonogiri pada 1951. Masyarakat mendapat legalitas berupa klangsiran atau surat hak milik atas tanah yang mereka ajukan kepada pemerintah. Yang didokumentasikan dibuku induk tanah desa atau buku C Desa. Perubahan tersebut semakin memperjelas batas-batas wilayah, terutama antar wilayah kabupaten. Setelah munculnya desa-desa baru, maka semakin jelas pula batas wilayah.

E.    Dari Perkebunan ke Tegalan : Menghidupkan Kembali Usaha Serat

            Perkebunan Mento Toelakan telah berubah menjadi tegalan. Pada 1950-an, beberapa petani mencoba peruntungan bermodalkan tanaman penghasil serat yang pernah ada di kawasan tersebut. Atmo Sudirjo Slamet dan Marto Sandjojo (Mantan Hoofd Mandoor Onderneming Mento Toelakan) berusaha mengolah serat untuk membangu perekonomian keluarga. Mereka fokus pada pengolahan serat rami dn rosela. Sistem pengolahan serat rami dilakukan secara rumahan. Akhir 1940-an dan awal 1950-an terjadi perubahan lanskap yang besar di bekas perkebunan Mento Toelakan. Kawasan perkebunan berubah menjadi kawasan persawahan atau tegalan. Vegetasi utama perkebunan dibabat karena sudah tidak menghasilkan lagi dan diganti dengan tanaman tegalan seperti padi, jagung, dan singkong. Tanaman rami dan rosela yang tersisa dari bekas perkebunan Mento Toelakan. Tanaman rami dipilih sebagai tanaman serat pokok pada masa industry rumahan. Serat olahan pertama dari Wonoharjo dijual ke pengolahan serat di Delanggu (Klaten) atau ke Nusukan (Solo). Usaha serat rami yang dijalankan oleh pengusaha kecil Desa Wonoharjo tidak berkembang dengan baik. Pada 1953, usaha pemintalan serat rami gulung tikar. Pada 1955, Desa Wonoharja kedatangan investor asal Surabaya yang tertarik menggarap wilayah tersebut sebagai sentra olahan serat. Pengusaha tersebut membeli hasil panen serat yang dihasilkan para petani di Desa Wonoharjo. Pengusaha mengolah serat menjadi karung goni dan tali tambang. Usaha ini bertahan hingga 1996.

            Seiring dengan perkembangan zaman, olahan serat alam tergeser oleh penggunaan plastik karena dinilai lebih praktis dan ekonomis. Pada akhirnya serat kurang diminati  dan petani mulai enggan menyetorkan hasil panen serat karena kurang menguntungkan. Perusahaan serat gagal bersaing dengan biji plastik. Biji plastic lebih murah dan lebih minim resiko karena tidak memerlukan penanaman dan perawatan. Hal ini membuat perusahaan berpindah menuju biji plastik sebagai bahan pembuatan karung dan tambang. Pada 1996, riwayat serat di Desa Wonoharjo berakhir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB IV LAYU SEBELUM BERKEMBANG : MENGHIDUPKAN KEMBALI INDUSTRI SERAT (1942-1996)

BAB IV LAYU SEBELUM BERKEMBANG : MENGHIDUPKAN KEMBALI INDUSTRI SERAT (1942-1996)             Pada periode 1940 an merupakan masa yang tida...