Kamis, 10 Juni 2021

BAB I "Tanah Pasewan Di Bumi Vorstenlanden"

 

                                                Tanah Pasewan Di Bumi Vorstenlanden

Awal abad XIX hingga awal abad XX merupakan puncak dari ekonomi perkebunan selama masa kolonialisme Belanda. Modal-modal asing ditanamkan guna mengeksploitasintanah-tanah milik penguasa lokal di Vorstenlanden Surakarta. Tanah-tanah-tanah apanage (lungguh) yang dikelola oleh para bangsawan sebagai upah pengabdian, disewakan kepada pemilik modal.

Wilayah Vorstenlanden Surakarta memang terdiri dari banyak lahan yang subur, gemah ripah loh jinawi. Wilayah yang masih kurang subur pun masih dapat dikelola dengan tanaman-tanaman komoditas tertentu yang tahan dengan kondisi tanah. Artinya, setiap jengkal area Vorstenlanden Surakarta (Kasunan dan Mangkunegaran) diperebutkan oleh para pengadu nasib dari negeri seberang lautan. Pihak istana pun tidak mau ketinggalan. Baik Sunan maupun Mangkunegara berlomba untuk bercocok tanam di lahan-lahan yang dimiliki.


A.    Masa Perintisan (1817-1830)

   Bedasarkan dari perjanjian gayatri (1755) kerajaan mataram surakarta diwajibkan untuk memberikan sebagian dari wilayahnya kepada pangeran mangkubumi ( sri sultan hamengkubuwono I) kesultanan daerah Yogyakarta berdiri sejajar dengan kasus surakarta. Kasusunan surakarta memberikan sebagian wilayahnya kepada R.M.said bedasarkan dari perjanjian salatiga pada tahun 1757. Kadipaten mangkubuwana berdaulat pada bawahan pimpinan R.M.said (KGPAA Mangkunegara I).

    Para pejabat tanah berhak untuk mewariskan tanah lungguh tersebut kepada para keturunan sampai pad generasi keempat. Semakin besar jumlah anggota keluarga, semakin komplek permasalahan mengenai pembagian luas tanah.lahan yang harus di bagikan berlipat ganda sesuai dengan pertumbuhan jumlah anggota keluarga penerima tanah lungguh.

    Dalam sistem tanah lungguh munculah para pejabat yang bertugas sebagai pemungut pajak yang disebut dengan bekel (penarik pajak), pengolahan lahan dalam sistem tanah lungguh adalah para sikep (petani penggarap) sawah.para bekel(penarik pajak) membayar pajak pajak kepada patuh (pegawai) Dengan pemberian target tertentu oleh para patuh(pegawai) sehingga beban petani menjadi lebih berat.

   Para penarik pajak merangkap sebagai pengelola lahan tanah lungguh para karyawan yang tinggal dikota sekaligus menjadi kepala desa. Rakyat yang inginw menggarap lahan harus meminta izin terlebih dahulu kepada penarik pajak dikarenakan setiap penarik pajak memiliki piagam yaitu surat perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban penarik pajak terhadap karyawan.

    Pada abad XVIII banyak lahan di Vorstenlanden disewakan kepada orang Toonghoa, lahan tersebut merupakan tanah milik raja atau tanah lungguh dari para pejabat tinggi kerajaan, pada akhir abad XVIII para residen ikut menyewa lahan tanah lungguh.dan memasuki abad XIX Thomas Starmford Rafles selaku gubernur jawa (1811-1816) telah memperkenalkan sistem sewa tanah yang disebut dengan landernt (sewa tanah). rafli menarik sewa tanah dengan dasar penguasa lokal merupakan pemilik dari semua tanah yang digarap oleh rakyat. Apabila penguasa lokal telah takluk maka haknya akan jatuh keadaan pemerintah maka dari itu rakyat diwajibkan untuk membayar sewa tanah yang dikerjakan berupa uang.

   Pada tahun 1817 seorang residen wilayah vorstenlanden Yogyakarta yaitu Nahiijs van burgst telah menyewa tanah milik sultan. Ia memiliki jaringan pertemanan yang luas di kalangan pengusaha swasta di belanda. Para pengusaha belanda berkeluh dengan iklim negatif dalam dunia investasi akibat perang. Burgst telah menanggapi dari keluh kesana tersebut dan berusaha mencarikan solusi dengan cara melakukan perbincangan dengan para pejabat vostenlanden agar dapat bersedia menyewakan tanahnya kepada pengusaha swasta. Dari penyewaan tanah kepada pengusaha swasta dapat memberikan keuntungan bagi pemerintahan kolonial untuk segera melunasi hutangnya. 

   Awal tahun 1819 para investasi swasta masuk ke Vorstenlanden Yogyakarta dengan perantaraan nahuijs dan patih danureja IV, Pengusaha asal inggris dan prancis turut menyewa lahan apanage (tanah lungguh) di yogyakarta.para pemodal swasta menyewa lahan dala jangka panjang. Para pemodal swasta begitu menikmati menjadi tuan-tuan tanah yang menggantikan para karyawan ditahan tanah lungguh. 

    Pada 6 juli 1823 gubernur jendral G.A.G.Ph. baron van der capellen (1816-1826) telah menguluarkan sebuah peraturan yang hanya diperbolehkan untuk menyewa tanah sebagai taman bukan untuk dijadikan perkebunan tanaman komoditas. Dasar pertimbangan capellen adalah penyewaan tanah oleh orang eropa justru menyebabkan tidak stabilnya perekonomian penguasa local.

B.    Masa Tarik Ulur Sewa Tanah (1830-1912)

  Sistem sewa tanah memasuki babak baru yaitu masa Tarik ulur (1830-1912). Masa ini ditandai dengan perombakan dan rencana pemerintah colonial mengadakan reorganisasi agraria. Tahun 1830an, ekonomi perkebunan Kembali menggeliat. Pesewaan tanah apanage muncul istilah bekel putih dan bekel cina. Bekel putih adalah penyewa tanah kebangsaan eropa yang membayar pajak dan menanggung semua kewajiban sikep dilahan sewaan. Pada 1857, pemerintah colonial belanda mengeluarkan kebijakan baru dimana sewa tanah mencapai 20 tahun, kebijakan ini berlaku di Vorstelenlanden Surakarta dan Yogyakarta. Kebijakan ini dalam Staatsblad van Nederlandsh – Indie No. 116, 1857.

  Pada Tahun 1870 undang – undang agraria (Agrarische Wet) disahkan. Tahun 1884 melakukan pembaharuan kebijakan tetapi lama penyewaan tidak berubah. Tahun 1891 pemerintah colonial menambah durasi penyewaan hingga 30 tahun berdasarkan Staatsblad van Nederlandsch-Indie No 255, 1981. Tahun 1890 an, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan para priayi yang lahannya disewakan. Para penyewa tanah mulai mengalami permasalahan dengan pemegang juga pemilik tanah. Mendirikan organisasi De Vereeniging van Solosche Landhuurderste  Soerakarta (perkumpulan penyewa tanah solo di Surakarta) pada 1882.

  Pada Tahun 1909 nama organisasi berubah yaitu Solosche Landhuurders Vereeniging (perkempulan penyewa tanah solo) perkumpulan ini bertujuan untuk menghimpun kekuatan saat terjadi sengketa dengan penguasa lokal. Adipati Mangkunegara IV (1853-1881) sebagai pemimpin mangku negara melihat ekonomi perkebunan penyewa tanah kurang menguntungkan keuangan praja dan kawula (rakyat). Beliau meminta untuk tidak memperpanjang kontrak sewa tanah. Tahun 1854 Gubernur Jendral J.C Rijst meminta Residen Buschken untuk mengevaluasi praktik persewaan tanah diwilayah Vorstenlanden. Tahan1857 usulan tersebut disetujui oleh Menteri P, Mijer. Tahun 1860 pemerintah colonial mengizinkan landhuurders untuk memperpanjang kontrak sewa tanah. Mulai 1862-1871 Mangkunegara IV menarik tanah apanage yang dikuasi para sentana dan anggota lagiun Mangkunegaran.

  Pada Tahun 1879 Mangkunegara IV membuat kebijakan tersendiri bagi tanah – tanah yang ada di kawedanan wonogiri. Dalam pranatan tersebut dijelaskan bahwa kawula Mangkunegaran yang tinggal di kawedanan wonogiri dan karanganyar diizinkan untuk mengolah tanah ladang. Dengan peraturan tersebutmasih menunjukkan tanah apanage di wilayah Mangkunegara. Pada 1879, setelah mangkunegara IV mangkat, kebijakan penarikan sistem aparage berakhir diganti Mangkunegara V membagikan Kembali lahan apanage kepada sentana, narapraja dan anggota legion sebagai pengganti gaji. Abad XX pemerintah kolonial memulai kebijakan reorganisasi agrarian.

  Khasanah menginterprestasikan bahwa pemerintah colonial ingin menghapus ikatan feudal yang memiliki pengolah lahan, pemegang lahan dan pemilik lahan. Pemerintah colonial ingin meninjau ulang kedudukan Zelf bestuur (pemerintah mandiri) dari daerah swapraja (Vorstenlanden). Pada Agustus 1909, de Graaff ke Surakarta untuk menindak lanjuti rencana reorganisasi agraria. Pada 22 November 1909, de Graaf mengirim rencana reorganisasi pada residen van wijk. Pada mei 1910 de Graaf berkunjung ke Vorstelanden untuk mensosialisasikan kegijakan reorganisasi agraria yang direalisasikan. Pada agustus 1911 rencana organisasi baru untuk Vorstenlanden dibuat oleh direktur pemerintahdalam negeri Tollenar menggantikan de Graaff. Pada 26 Agustus 1911 Tollenar membahas rencana tersebut dan kebijakan tersebut didukung oleh investor di belanda.

C.    Masa Reorganisasi Agraria (1912-1927)

  Masa reorganisasi agraria ditandai dengan keyakinan penuh pemerintah kolonial terhadap perubhaan sistem agraria di Vorstenladen. Masa reorganisasi agrarian adalah periode eksekusi rencana-rencana yang telah dibuat selama masa tarik ulur.

  Pada tahun 1912, Gubernur Jendral secara resmi memnta Sunan untuk tidak memperpanjang kontrak sewa tanah lebih dari aepuluh tahun. Saat reorganisasi segera dilaksanakan, Residen van Wijk digantikan oleh Sollewijn Gelpke. Selama reorganisasi, Gelpke semoat mengeluh. Residen Gelpke dibantu oleh beberapa orang, di antaranya Asisten Residen H.A. Neys, Controlleur J.P. Gulik, pejabat setingkat Adjunct Controlleur, sebuah kantor besar, mantra-mantri, dan para petugas lapangan.

  Reorganisasi agrarian menimbulkan dampak yang besar bagi kehidupan di Vorstenladen. Dampak tersebut dirasakan oleh pemerintah kolonial hingga pemerintah desa, penguasa okal hingga pejabat daerah, dan pemodal swasta hingga para petani. Demikianlah ekonomi perkebunan telah memengaruhi peradaban Vorstenladen Surakarta. Modernisasi adalah salah satu manfaat yang diperoleh dari ekonomi perkebunan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB IV LAYU SEBELUM BERKEMBANG : MENGHIDUPKAN KEMBALI INDUSTRI SERAT (1942-1996)

BAB IV LAYU SEBELUM BERKEMBANG : MENGHIDUPKAN KEMBALI INDUSTRI SERAT (1942-1996)             Pada periode 1940 an merupakan masa yang tida...