BAB IV LAYU SEBELUM
BERKEMBANG : MENGHIDUPKAN KEMBALI INDUSTRI SERAT (1942-1996)
Pada periode 1940 an merupakan masa yang tidak stabil.
Perubahan kepemimpinan dan peraturan berlangsung secara cepat. Pemerintah
Hindia Belanda terpaksa menyerahkan otoritasnya kepada pemerintahan jepang.
A.
Mento Toelakan Masa Pendudukan Jepang
Pada 1942, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan
perjanjian menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah militer jepang. Pasukan KNIL
dan Legiun Mangkunegaran yang bertugas sebagai pasukan
pengamanan tidak dapat menahan gempuran pasukan jepang. Kota
Surakarta pun dikuasai jepang. Wilayah Vorstenlanden ditetapkan sebagai kochi
dan Mangkunegaran Kochi d Surakarta. Kebijakan awal dari pemerintah pendudukan
jepang adalah merubah status hubungan antara penguasa lokal dengan pemerintahan
militer jepang. Paku Buwana XI (1939-1945) disebut sebagai Surakarta Koo dan
Mangkunegara VII (1916-1944) disebut sebagai Mangkunegaran Koo. Kedua penguasa
lokal ini statusnya berada di bawah Dai Nippon Gunshireikan (Panglima Besar Dai
Nippon ). Pemerintah militer berkeinginan agar mereka mau bekerja sama dengan
jepang.
Pengambilan tanah diatur oleh undang-undang No 17 tanggal
1 Juni 1942. Adanya perubahan kebijakan mengenai sistem sewa tanah dan juga
pengelolaan perkebunan berdampak pada Ondernaming Mento Toelakan. Perkebunan
Mento Toelakan masih sejalan dengan program jepang dalam pengembangan usaha
yang diperlukan untuk keperluan perang. Pemerintahan jepang terus berupaya
mengembangkan perkebunan serat demi kepentingan perang di Kawasan Asia Timur
Raya. Ada beberapa jenis serat yang dikembangkan pad masa jepang, diantaranya
yute jawa, rosela, rami, dan sisal (Agave sisalana). Kecocokan lahan mento
toelakan dengan tanaman serat segera menjadi andalan pemerintah militer jepang
untuk memproduksikan serat dalam skala besar. Untuk itu, pemerintah pendudukan
jepang mewajibkan penduduk menenam rami, rosela dan kapas di Mento Toelakan.
Kekurangan sandang pada masa pendudukan jepang cukup parah. Penduduku bumi
putra menggunakan kain goni yang biasanya digunakan sebagai karung hasil
pertanian atau perkebunan digunakan sebagai pakaian.
Sistem pengairan yang buruk menimbulkan permasalahan
serius di perkebunan Mento Toelakan, khususnya pada musim kemarau. Pada 1944,
Kawasan Wonogiri dilaporkan sangat minim curah hujan. Hal ini berdampak pada
wilayah Wonogiri yang terdiri dari Kawasan gunung kapur sehingga menyebabkan
banyak tanaman yang mengalami kematian atau gagal panen. Selain itu, masyarakat
yang hidup di Mento Toelakan tidak merasakan manfaatnya karena semua produksi
digunakan oleh jepang.
B.
Mento Toelakan Masa Revolusi
Para pemuda progresif Indonesia berhasil memaksa
Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada 17
Agustus 1945, bangsa Indonesia memproglamasikan kemerdekaan. Sementara itu,
daerah Wonogiri mulai bergolak yang ditandai dengan kemunculan badan-badan
perjuangan di daerah. Wilayah Mento Toelakan sebagai bagian dari wilayah
kekuasaan Mangkunegaran turut berpengaruh. Perkebunan dan perusahaan serat
Mento Toelakan diambil alih oleh pihak Mangkunegaran untuk dioperasikan.
Sementara itu, kondisi Mangkunegaran sebagai penguasa di alam republic juga
menghadapi masa yang sulit. Mangkunegaran kurang mampu menyesuaikan diri dan
terjadi Gerakan anti swapraja. Pemerintah Republik mengambil jalan tengah
supaya Gerakan anti swapraja tidak meluas dengan mengeluarkan Penetapan
Pemerintah No 16/SD Tahun 1946 yang dikeluarkan pada 15 Juli 1946.
Pada 19 Desember 1948 pasukan Belanda berupaya masuk ke
wilayah Wonogiri. 20 Februari, pasukan Belanda menyerang wilayah pusat Wonogiri.
Pasukan Belanda juga berusaha masuk ke Kawasan Mento Toelakan, namun mendapat
perlawanan yang sengit dari pejuang. Jalan akses ke Mento Toelakan dirusak
sehingga pasukan Belanda tidak dapat masuk ke Kawasan perkebunan. Seluruh
kembatan yang menghubungkan Mento Toelakan dengan daerah lainnya dihancurkan.
Factor selanjutnya yang membuat perkebunan mengalami kemunduran adalah sistem
managerial. Perkebunan Mento Toelakan sudah terbiasa dengan kepemimpinan orang
Eropa sebagaimana perkebunan lain pada masa colonial. Pada masa revolusi,
sentiment-sentimen anti Belanda membuat para pekerja berdarah Eropa selalu
berada dalam keadaan was-was walaupun perkebunan dilindungi oleh pasukan semut
Ireng dan KNIL.
Perkebunan Mento Toelkan tidak mampu bertahan lebih lanjut.
Perusahaan – perusahaan Mento Toelakan memasuki titik nadir Ketika terjadi
penjarahan yang dilakukan oleh masyarakat. Selain dilakukan di Kawasan pabrik,
penjarahan juga meluas ke beberapa wilayah perkebunan. Perkebunan benar – benar
tidak dapat beroperasi stelah penjarahan.
C.
Pembentukan Desa Wonoharjo
Pada Akhir 1940-An, Terjadi Keruntuhan
Perusahaan-Perusahaan Di Lahan Mangkunegaran Yang Menjadikan Kawasan Perkebunan
Mengalami Kekosongan Pemerintah. Pada Perkembangannya, Perkebunan Mento
Toelakan Terdiri Dari Beberapa Desa. Salah Satunya Adalah Desa Wonoharjo Yang
Merupakan Desa Induk Atau Inti Dari Desa Yang Ada Di Perkebunan Mento Toelakan.
Desa Wonoharjo Lahir Pada 1949. Arti Kata Wonoharjo Adalah Hutan (Serat Nanas)
Yang Ramai. Terdapat Tiga Desa Yang Masuk Wilayah Kabupaten Wonogiri, Yaitu Wonoharjo,
Manjung, Wonokerto, Dan Sonoharjo. Pemerintah Desa Wonoharjo Dipimpin Oleh
Kepala Desa Dan Dibantu Oleh Staf Dan Juga Kepala Lingkungan Atau Dusun. Desa
Wonoharjo Dibagi Menjadi 14 Desun Atau Lingkungan Yang Meliputi Ngasinan Etan, Ngasinan
Kulon, Mento, Gondang Kurung, Setro, Gendaran, Blumbang, Gebung Etan, Gebung
Kulon, Semanding, Blimbing, Toelakan, Bledo, Talun Ombo. Dusun Mento Dijadikan
Sebagai Pusat Pemerintahan, Sedangkan Dusun Talun Ombo Dijadikan Sebagai Pusat
Ekonomi Dan Pasar.
Pusat Pemerintahan Desa Wonoharjo Mengalami Beberapa Kali
Pemindahan. Pada 1949-1965 Pusat Pemerinta Atau Kantor Kepala Desa Berada Di
Rumah Atau Tempat Yang Ditunjuk Oleh Kepala Desa. Pada 1965, Model Pusat
Pemerintahan Nomaden Yang Mengikuti Domisili Kepala Desa Akhinya Berhenti. Pada
Tahun Tersebut, Dusun Ombo Ditetapkan Sebagai Pusat Pemerintahan Desa Wonoharjo.
Pada 1994, Pusat Pemerintahan Desa Dipindahkan Ke Dusun Gendaran. Lebih Lanjut Terdapat
Beberapa Nama Tempat Yang Menggunakan Istilah Dari Perkebunan, Namun Tidak
Dijadikan Sebagai Nama Dusun.
D. Pembagian
Tanah Perkebunan Mento Toelakan
Lemah nanasan bekas Ondernaming Mento
Toelakan menjadi lahan tidak bertuan kala Pemerintah Republik Indonesia
menerapkan kebijakan nasionalisasi aset Mangkunegaran. Merasa status tanah
tidak bertuan, lantas masyarakat perkebunan bekas pegawai perkebunan melakukan
pembabatan atau mbengkeli nanasan atau dipatok. Tujuan pematokan
adalah untuk mengolah lahan bekas perkebunan sebagai lahan pertanian masyarakat.
Tanah yang didapatkan oleh individu atau keluarga
rata-rata bisa mencapai 2,5 hektar karena jumlah penduduk di kawasan tersebut
masih sedikit. Tanah hasil bengkelan warga kemudian diukur atau dipetakan oleh
petugas atau mantan Hoffd Mandoor Martosandjojo untuk mengetahui
batas-batas wilayah antar petani.
Klaim atas tanah Mento Toelakan kemudian diurus secaara
kolektif menjadi hak milik kepada Dinas Pertanahan atau Agraria Wonogiri pada
1951. Masyarakat mendapat legalitas berupa klangsiran atau surat hak
milik atas tanah yang mereka ajukan kepada pemerintah. Yang didokumentasikan
dibuku induk tanah desa atau buku C Desa. Perubahan tersebut semakin
memperjelas batas-batas wilayah, terutama antar wilayah kabupaten. Setelah
munculnya desa-desa baru, maka semakin jelas pula batas wilayah.
E.
Dari Perkebunan ke Tegalan : Menghidupkan
Kembali Usaha Serat
Perkebunan Mento Toelakan telah berubah menjadi tegalan.
Pada 1950-an, beberapa petani mencoba peruntungan bermodalkan tanaman penghasil
serat yang pernah ada di kawasan tersebut. Atmo Sudirjo Slamet dan Marto
Sandjojo (Mantan Hoofd Mandoor Onderneming Mento Toelakan) berusaha mengolah
serat untuk membangu perekonomian keluarga. Mereka fokus pada pengolahan serat
rami dn rosela. Sistem pengolahan serat rami dilakukan secara rumahan. Akhir
1940-an dan awal 1950-an terjadi perubahan lanskap yang besar di bekas
perkebunan Mento Toelakan. Kawasan perkebunan berubah menjadi kawasan
persawahan atau tegalan. Vegetasi utama perkebunan dibabat karena sudah tidak
menghasilkan lagi dan diganti dengan tanaman tegalan seperti padi, jagung, dan
singkong. Tanaman rami dan rosela yang tersisa dari bekas perkebunan Mento
Toelakan. Tanaman rami dipilih sebagai tanaman serat pokok pada masa industry
rumahan. Serat olahan pertama dari Wonoharjo dijual ke pengolahan serat di
Delanggu (Klaten) atau ke Nusukan (Solo). Usaha serat rami yang dijalankan oleh
pengusaha kecil Desa Wonoharjo tidak berkembang dengan baik. Pada 1953, usaha
pemintalan serat rami gulung tikar. Pada 1955, Desa Wonoharja kedatangan
investor asal Surabaya yang tertarik menggarap wilayah tersebut sebagai sentra
olahan serat. Pengusaha tersebut membeli hasil panen serat yang dihasilkan para
petani di Desa Wonoharjo. Pengusaha mengolah serat menjadi karung goni dan tali
tambang. Usaha ini bertahan hingga 1996.
Seiring dengan perkembangan zaman, olahan serat alam
tergeser oleh penggunaan plastik karena dinilai lebih praktis dan ekonomis.
Pada akhirnya serat kurang diminati dan petani mulai enggan
menyetorkan hasil panen serat karena kurang menguntungkan. Perusahaan serat
gagal bersaing dengan biji plastik. Biji plastic lebih murah dan lebih minim
resiko karena tidak memerlukan penanaman dan perawatan. Hal ini membuat
perusahaan berpindah menuju biji plastik sebagai bahan pembuatan karung dan
tambang. Pada 1996, riwayat serat di Desa Wonoharjo berakhir.