Minggu, 27 Juni 2021

BAB IV LAYU SEBELUM BERKEMBANG : MENGHIDUPKAN KEMBALI INDUSTRI SERAT (1942-1996)

BAB IV LAYU SEBELUM BERKEMBANG : MENGHIDUPKAN KEMBALI INDUSTRI SERAT (1942-1996)

            Pada periode 1940 an merupakan masa yang tidak stabil. Perubahan kepemimpinan dan peraturan berlangsung secara cepat. Pemerintah Hindia Belanda terpaksa menyerahkan otoritasnya kepada pemerintahan jepang.

A.    Mento Toelakan Masa Pendudukan Jepang

            Pada 1942, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perjanjian menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah militer jepang. Pasukan KNIL dan Legiun Mangkunegaran yang bertugas sebagai pasukan pengamanan  tidak dapat menahan gempuran pasukan jepang. Kota Surakarta pun dikuasai jepang. Wilayah Vorstenlanden ditetapkan sebagai kochi dan Mangkunegaran Kochi d Surakarta. Kebijakan awal dari pemerintah pendudukan jepang adalah merubah status hubungan antara penguasa lokal dengan pemerintahan militer jepang. Paku Buwana XI (1939-1945) disebut sebagai Surakarta Koo dan Mangkunegara VII (1916-1944) disebut sebagai Mangkunegaran Koo. Kedua penguasa lokal ini statusnya berada di bawah Dai Nippon Gunshireikan (Panglima Besar Dai Nippon ). Pemerintah militer berkeinginan agar mereka mau bekerja sama dengan jepang.

            Pengambilan tanah diatur oleh undang-undang No 17 tanggal 1 Juni 1942. Adanya perubahan kebijakan mengenai sistem sewa tanah dan juga pengelolaan perkebunan berdampak pada Ondernaming Mento Toelakan. Perkebunan Mento Toelakan masih sejalan dengan program jepang dalam pengembangan usaha yang diperlukan untuk keperluan perang. Pemerintahan jepang terus berupaya mengembangkan perkebunan serat demi kepentingan perang di Kawasan Asia Timur Raya. Ada beberapa jenis serat yang dikembangkan pad masa jepang, diantaranya yute jawa, rosela, rami, dan sisal (Agave sisalana). Kecocokan lahan mento toelakan dengan tanaman serat segera menjadi andalan pemerintah militer jepang untuk memproduksikan serat dalam skala besar. Untuk itu, pemerintah pendudukan jepang mewajibkan penduduk menenam rami, rosela dan kapas di Mento Toelakan. Kekurangan sandang pada masa pendudukan jepang cukup parah. Penduduku bumi putra menggunakan kain goni yang biasanya digunakan sebagai karung hasil pertanian atau perkebunan digunakan sebagai pakaian.

            Sistem pengairan yang buruk menimbulkan permasalahan serius di perkebunan Mento Toelakan, khususnya pada musim kemarau. Pada 1944, Kawasan Wonogiri dilaporkan sangat minim curah hujan. Hal ini berdampak pada wilayah Wonogiri yang terdiri dari Kawasan gunung kapur sehingga menyebabkan banyak tanaman yang mengalami kematian atau gagal panen. Selain itu, masyarakat yang hidup di Mento Toelakan tidak merasakan manfaatnya karena semua produksi digunakan oleh jepang.

B.      Mento Toelakan Masa Revolusi

            Para pemuda progresif Indonesia berhasil memaksa Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproglamasikan kemerdekaan. Sementara itu, daerah Wonogiri mulai bergolak yang ditandai dengan kemunculan badan-badan perjuangan di daerah. Wilayah Mento Toelakan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Mangkunegaran turut berpengaruh. Perkebunan dan perusahaan serat Mento Toelakan diambil alih oleh pihak Mangkunegaran untuk dioperasikan. Sementara itu, kondisi Mangkunegaran sebagai penguasa di alam republic juga menghadapi masa yang sulit. Mangkunegaran kurang mampu menyesuaikan diri dan terjadi Gerakan anti swapraja. Pemerintah Republik mengambil jalan tengah supaya Gerakan anti swapraja tidak meluas dengan mengeluarkan Penetapan Pemerintah No 16/SD Tahun 1946 yang dikeluarkan pada 15 Juli 1946.

            Pada 19 Desember 1948 pasukan Belanda berupaya masuk ke wilayah Wonogiri. 20 Februari, pasukan Belanda menyerang wilayah pusat Wonogiri. Pasukan Belanda juga berusaha masuk ke Kawasan Mento Toelakan, namun mendapat perlawanan yang sengit dari pejuang. Jalan akses ke Mento Toelakan dirusak sehingga pasukan Belanda tidak dapat masuk ke Kawasan perkebunan. Seluruh kembatan yang menghubungkan Mento Toelakan dengan daerah lainnya dihancurkan. Factor selanjutnya yang membuat perkebunan mengalami kemunduran adalah sistem managerial. Perkebunan Mento Toelakan sudah terbiasa dengan kepemimpinan orang Eropa sebagaimana perkebunan lain pada masa colonial. Pada masa revolusi, sentiment-sentimen anti Belanda membuat para pekerja berdarah Eropa selalu berada dalam keadaan was-was walaupun perkebunan dilindungi oleh pasukan semut Ireng dan KNIL.

            Perkebunan Mento Toelkan tidak mampu bertahan lebih lanjut. Perusahaan – perusahaan Mento Toelakan memasuki titik nadir Ketika terjadi penjarahan yang dilakukan oleh masyarakat. Selain dilakukan di Kawasan pabrik, penjarahan juga meluas ke beberapa wilayah perkebunan. Perkebunan benar – benar tidak dapat beroperasi stelah penjarahan.

C.    Pembentukan Desa Wonoharjo

            Pada Akhir 1940-An, Terjadi Keruntuhan Perusahaan-Perusahaan Di Lahan Mangkunegaran Yang Menjadikan Kawasan Perkebunan Mengalami Kekosongan Pemerintah. Pada Perkembangannya, Perkebunan Mento Toelakan Terdiri Dari Beberapa Desa. Salah Satunya Adalah Desa Wonoharjo Yang Merupakan Desa Induk Atau Inti Dari Desa Yang Ada Di Perkebunan Mento Toelakan. Desa Wonoharjo Lahir Pada 1949. Arti Kata Wonoharjo Adalah Hutan (Serat Nanas) Yang Ramai. Terdapat Tiga Desa Yang Masuk Wilayah Kabupaten Wonogiri, Yaitu Wonoharjo, Manjung, Wonokerto, Dan Sonoharjo. Pemerintah Desa Wonoharjo Dipimpin Oleh Kepala Desa Dan Dibantu Oleh Staf Dan Juga Kepala Lingkungan Atau Dusun. Desa Wonoharjo Dibagi Menjadi 14 Desun Atau Lingkungan Yang Meliputi Ngasinan Etan, Ngasinan Kulon, Mento, Gondang Kurung, Setro, Gendaran, Blumbang, Gebung Etan, Gebung Kulon, Semanding, Blimbing, Toelakan, Bledo, Talun Ombo. Dusun Mento Dijadikan Sebagai Pusat Pemerintahan, Sedangkan Dusun Talun Ombo Dijadikan Sebagai Pusat Ekonomi Dan Pasar.

            Pusat Pemerintahan Desa Wonoharjo Mengalami Beberapa Kali Pemindahan. Pada 1949-1965 Pusat Pemerinta Atau Kantor Kepala Desa Berada Di Rumah Atau Tempat Yang Ditunjuk Oleh Kepala Desa. Pada 1965, Model Pusat Pemerintahan Nomaden Yang Mengikuti Domisili Kepala Desa Akhinya Berhenti. Pada Tahun Tersebut, Dusun Ombo Ditetapkan Sebagai Pusat Pemerintahan Desa Wonoharjo. Pada 1994, Pusat Pemerintahan Desa Dipindahkan Ke Dusun Gendaran. Lebih Lanjut Terdapat Beberapa Nama Tempat Yang Menggunakan Istilah Dari Perkebunan, Namun Tidak Dijadikan Sebagai Nama Dusun.

D.    Pembagian Tanah Perkebunan Mento Toelakan

            Lemah nanasan bekas Ondernaming Mento Toelakan menjadi lahan tidak bertuan kala Pemerintah Republik Indonesia menerapkan kebijakan nasionalisasi aset Mangkunegaran. Merasa status tanah tidak bertuan, lantas masyarakat perkebunan bekas pegawai perkebunan melakukan pembabatan atau mbengkeli nanasan atau dipatok. Tujuan pematokan adalah untuk mengolah lahan bekas perkebunan sebagai lahan pertanian masyarakat.

            Tanah yang didapatkan oleh individu atau keluarga rata-rata bisa mencapai 2,5 hektar karena jumlah penduduk di kawasan tersebut masih sedikit. Tanah hasil bengkelan warga kemudian diukur atau dipetakan oleh petugas atau mantan Hoffd Mandoor Martosandjojo untuk mengetahui batas-batas wilayah antar petani.

            Klaim atas tanah Mento Toelakan kemudian diurus secaara kolektif menjadi hak milik kepada Dinas Pertanahan atau Agraria Wonogiri pada 1951. Masyarakat mendapat legalitas berupa klangsiran atau surat hak milik atas tanah yang mereka ajukan kepada pemerintah. Yang didokumentasikan dibuku induk tanah desa atau buku C Desa. Perubahan tersebut semakin memperjelas batas-batas wilayah, terutama antar wilayah kabupaten. Setelah munculnya desa-desa baru, maka semakin jelas pula batas wilayah.

E.    Dari Perkebunan ke Tegalan : Menghidupkan Kembali Usaha Serat

            Perkebunan Mento Toelakan telah berubah menjadi tegalan. Pada 1950-an, beberapa petani mencoba peruntungan bermodalkan tanaman penghasil serat yang pernah ada di kawasan tersebut. Atmo Sudirjo Slamet dan Marto Sandjojo (Mantan Hoofd Mandoor Onderneming Mento Toelakan) berusaha mengolah serat untuk membangu perekonomian keluarga. Mereka fokus pada pengolahan serat rami dn rosela. Sistem pengolahan serat rami dilakukan secara rumahan. Akhir 1940-an dan awal 1950-an terjadi perubahan lanskap yang besar di bekas perkebunan Mento Toelakan. Kawasan perkebunan berubah menjadi kawasan persawahan atau tegalan. Vegetasi utama perkebunan dibabat karena sudah tidak menghasilkan lagi dan diganti dengan tanaman tegalan seperti padi, jagung, dan singkong. Tanaman rami dan rosela yang tersisa dari bekas perkebunan Mento Toelakan. Tanaman rami dipilih sebagai tanaman serat pokok pada masa industry rumahan. Serat olahan pertama dari Wonoharjo dijual ke pengolahan serat di Delanggu (Klaten) atau ke Nusukan (Solo). Usaha serat rami yang dijalankan oleh pengusaha kecil Desa Wonoharjo tidak berkembang dengan baik. Pada 1953, usaha pemintalan serat rami gulung tikar. Pada 1955, Desa Wonoharja kedatangan investor asal Surabaya yang tertarik menggarap wilayah tersebut sebagai sentra olahan serat. Pengusaha tersebut membeli hasil panen serat yang dihasilkan para petani di Desa Wonoharjo. Pengusaha mengolah serat menjadi karung goni dan tali tambang. Usaha ini bertahan hingga 1996.

            Seiring dengan perkembangan zaman, olahan serat alam tergeser oleh penggunaan plastik karena dinilai lebih praktis dan ekonomis. Pada akhirnya serat kurang diminati  dan petani mulai enggan menyetorkan hasil panen serat karena kurang menguntungkan. Perusahaan serat gagal bersaing dengan biji plastik. Biji plastic lebih murah dan lebih minim resiko karena tidak memerlukan penanaman dan perawatan. Hal ini membuat perusahaan berpindah menuju biji plastik sebagai bahan pembuatan karung dan tambang. Pada 1996, riwayat serat di Desa Wonoharjo berakhir.


Rabu, 23 Juni 2021

BAB III Riwayat Onderneming Mento Toelakan

 

                                                                        BAB III         

                                                Riwayat Onderneming Mento Toelakan

            Berdasarkan sumber sezaman, Mento Toelakan dicatat sebagai lahan enclave Praja Mangkunegaran. Batas wilayah milik mangkunegaran dan juga Kasunanan dibuatkan paal atau tugu batas. Ada beberapa kemungkinan tanah Mento Toelakan busa disewa oleh pemodal asing saat pemberlakuan kebijakan penarikan apanage.Pertama, Mento Toelakan tetap dikelola oleh narapraja ataupun anggota lepium Mangkunegaran. Kedua, lahan Mento Toelakan terlanjur disewakan kepada pengusaha swasta. Ketiga, lahan Mento Toelakan berada di zona abu-abu antara milik kasunanan atau Mangkunegaran. Terakhir, penyewa tanah mendapat dukungan dari pejabat colonial sehingga Mangkunegara IV mesti mengizinkan penyewaan tanah apanage yang berada di wilayah enklaf miliknya.

            Didalam Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie disebutkan bahwa Mento Toelakan merupakan salah satu perkebunan orang-orang eropa dluar kontrak dengan gubernemen. Selama menjadi perkebunan, lahan Mento Toelakan telah mengalami beberapa kali pergantian penyewa. Mereka membudidayakan beberapa tanaman komoditas yang dikembangkan didaerah barat laut Wonogiri seperti kopi, tembakau, indigo, kapuk, lada, dan serat nanas.

 

A.    Mencoba Keberuntungan : Perkebunan Kopi di Mento Toelakan 1863-1897

            Perkebunan Mento Toelakan memiliki luas 1.416.5 bouws atau sekitar 1,048.21 ha. Kawasan Mento Toelakan berada di lereng kaki gunung lawu dengan ketinggian 600 kaki pada salah satu sisinya. Onderneming Mento Toelakan memiliki karakter tanah lempung merah atau coklat. Bedasarkan kondisi geografi, Mento Toelakan dianggap cocok untuk di tanami kopi. Pada 1863, pengelola perkebunan yang tercatat dalam Regerings-Almanak voor Nederland –indie adalah D. N Nolten juga merupakan ondermener (pemilik perkebunan) atau hanya administrator. Selain kopi Nolten juga mencoba tanaman komoditas lainya pada tahun 1965 yaitu tembakau sebagai tamanan pendamping. Pada tahun 1869 perkebunan Mento Toelakan dilaporkan hanya menanam atau menghasilkan tembakau. Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah keberhasilan panen tembakau pada tahun sebelumnya telah merubah pemikiran dari Nolten untuh merubah tanaman perkebunan.

            Pada tahun 1870 laporan menunjukan,komoditas perkebunan Mento Toelakan adalah tanaman kopi. Laporan tersebut mematahkan laporan 1869 yang hanya mencatat tembakau saja. Laporan 1869 jelas menimbulkan keracunan karena Mento Toelakan memproduksi kopi lagi pada tahun berikutnya. Kopi merupakan tanaman tahunan bukan tanaman musiman, sebagaimana padi dan tembakau yang bisa ditanam secara bergantian. Kopi membutuhkan waktu untuk tumbuh yang lebih lama daripada tembakau. Sementara itu pada tahun 1875-1876 telah menjadi perubahan pengelola atau penyewa onderneming mento toelakan, status pengelolaan perkebunan diambil alih oleh P.W.G Gout. P.W.G Gout meerupakan salah satu pengusaha perkebunan kopi kenamaan di Vorstenlanden. Usaha perkebunan Gout rupanya semakin berkembang. Tahun 1817, Gout memiliki beberapa perkebunan kopi diarea Vorstenlanden diantaranya Pagerdjoerang, Pakem, Tiris,Boeloe dan Kajoeapak. Pada tahun 1885 P.W.G. Gout tercatat sebagai pemilik perkebunan kopi Mento Toelakan, Pakem,Tiris, dan Assemlegie.

            Pada tahun 1882 produksi awal dari perkebunan kopi Mento Toelakan sebesar 267 pikul, tahun 1883 produksi kopi berjumlah 2.100 pikul, tahun 1884, produksi kopi berjumlah 100 pikul . produksi kopi memang sangat mengalami lonjakan signifikan sejak tahun 1882 hingga 1883. Penyebab penurunan produksi kopi di Hindia-Belanda pada periode itu adalah penyakit karat daun (Hemileia vastatrix). Usaha penanaman tembakau di Mento Toelakan dibarengi dengan pembangunan gudang. Tahun 1889, perkebunan Mento Toelakan dilaporkan memiliki tiga buah gudang tembakau.

            Tahun 1890, P. Buwalda mulai mengurus perkebunan mento toelakan sebagai administrator. Namun perkebunan masih dimiliki oleh J.C Buwalda . baru tahun 1893 P. Buwalda tercatat sebagai ondermener sekaligus administrator ondermening Mento Toelakan. Proses pemindahtanganan kepengelolaan berlangsung cepat karena J.C Buwalda dan P. Buwalda memiliki kedekatan relasi. Sebelum menjadi administrator dan pemilik perkebunan Mento Toelakan P. Buwalda pernah bekerja pada perusahaan penebangan kayu di grobogan segera setelah tiba di Hindia-Belanda  dari negeri kincir angina (Belanda). Kemudian perusahaan penebangan kayu tersebut dikuasai dengan menggunakan nama Buwalda& Co. perusahaan tersebut didirikan pada 1 Januari 1894. Kiprah Buwalda dalam kepemikiran perusahaan terus berkembang. Beberapa perusahaan atau perkebunan diakuisisi oleh Buwalda. Buwalda juga menjadi direktur, komisaris dan administrator pada beberapa perkebunan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah satu perkebunan yang di kuasisi setelah perusahaan penebangan kayu adalah perkebunan Mento Toelakan di Wonogiri.

            Tahun 1895, P. Buwalda tidak bisa mengelola Mento Toelakan sendiri secara  langsung dikarenakan sibuk mengurus banyaknya perusahaan perkebunan di Jawa Tengah dan Jawa Timur baik sebagai direktur,komisaris,ataupun administrator. P. Buwalda menunjuk C.F.W,K  Happe sebagai administrator untuk mengatur perkebunan Mento Toelakan. Happe menjabat sebagai administrator perkebunan Mento Toelakan sampai tahun 1901, sebelum menduduki kursi administrator Onderneming Mento Toelakan, Happe merupakan pegawai yang bekerja untuk Hijgen de Raadt di Demak. Happe ialah anak F. Happe yang merupakan anggota Raad van Indie.

 

A.           Masa Transisi : Dari Kopi ke Serat 1897-1910

            Pada tahun pertama menjabat C.Happe tidak banyak melakukan perubahan. Ondernemer Mento Toelakan masih nyaman dengan rimbunan pohon-pohon kopi, pada tahun 1897 P.Buwalda ingin mencoba tanaman kakao dan tanaman serat. Kakao dan kapuk menjadi tanaman pendamping kopi. Kakao mulai dibudidayakan di Hindia Belanda pada abad XIX. Keberadaan tanaman kapuk menjadi awal pembudidayaan tanaman serat di perkebunan Mento Toelakan.

            Selain kakao dan kapuk Happe selaku administrator melakukan penanaman lada pada tahun 1899. Namun demikian, lada hanya dimanfaatkan sebagai tanaman pendamping kopi sebagaimana kakao dan kapuk. Selain itu,pengurus perkebunan ingin mencoba memaksimalkan tembakau sebagai tanaman komoditas pendamping kopi pada 1989. Karena adanya kegagalan penanaman tembakau yang disebabkan oleh kebakaran gudang maka Happe mencari pengawas perkebunan yang bertugas untuk memantau perkembangan budidaya tembakau.

            Rencana proyek pengembangan tembakau di Mento Toelakan dimulai pada 1 juni 1989. Keinginan membudidayakan tembakau di Mento Toelakan diwujudkan pada masa akhir kepemimpinan C. Happe pada tahun 1901. Kemudian kepemimpinan digantikan oleh H.C.B.Onken. Ciri khas dari masa Happed an Onken adalah menanam berbagai jenis tanaman perkebunan seperti kakao, kapuk, lada, dan tembakau. Dan kopi menjadi utamanya.

            Pada tahun 1905, tanaman kopi yang merupakan komoditas utama mulai digantikan sisal. Oleh karena masih dalam tahap peralihan, perekebunan Mento Toelakan masih mempertahankan kopi di sebagian lahan. Pada tahun 1906 Mento Toelakan didaftarkan sebagai perusahan dan pada tahun 1907 baru disetujui atas nama P. Buwalda dan Th.B.Playte. Pendaftaran perkebunan sebagai perusahaan menjadi penanda semakin terbukanya perkebunan pada pasar modal.

            Perkebunan serat juga tidak menghasilkan keuntungan besar. Akan tetapi, P.Buwalda jeli melihat bahwa kebutuhan karung-karung goni dalam industry gula ataupun kopi semakin besarseiring dengan perkembangan industry gula dan kopi di Hindia Belanda khususnya Jawa. Buwalda seolah-olah weruh sakdurunge winarah karena sudah mempersiapkan Mento Toelakan sebagai sentra penghasil serat jauh sebelum tanaman serat nanas menjadi tren di Hindia Belanda pada 1920 an. Pembudidayaan kopi lambat laun menjadi tanaman pendamping serat nanas karena dianggap kurang produktif.

            Pada tahun 1906 H.M.Middlebeek diserahi jabatan sebagai kepala administrator di Mento Toelakan guna menggantikan H.C.B Onken. Pembudiyaan tembakau dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan panen tanaman komoditas lainnya pada musim-musim tertentu. Kebijakan tersebut berlangsung hingga 1910. Pada tahun 1908 Onderneming Mento Toelakan mulai memasarkan jenis tanaman serat nanas baru yakni agave rigida . Pada masa P. Buwalda Mento Toelakan menjelma sebagai perkebunan penghasil serat rosella, rami, kapas/kapuk, dan serat nanas selain masih memproduksi beberapa tanaman lainnya seperti kopi dan tembakau.

            Hal yang menarik selama periode 1897 hingga 1910 adalah perkebunan Mento Toelakan tidak dipegang oleh pemilik secara langsung. Perkebunan serat juga tidak terlalu bergantung pada pasar internasional karena dapat memenuhi kebutuhan pasar lokal. Hal ini membuat kondisi perusahaan lebih stabil dibandingkan ketika memproduksi kopi yang sangat bergantung dengan pasar internasional.

 

B.    Masa Kejayaan:Vezel Onderneming Mento Toelakan 1910-194

            Dibawah kendali perusahaan Buwalda, perkebunan ini menjelma menjadi Vesel Onderneming Mento Toelakan. Vezel Onderneming Mento Toelakan perlu mengembangkan beberapa varietas serat untuk menemukan hasil secara terbaik. Serat-serat tersebut juga bisa dijadikan sebagai bahan campuran olahan serat nanas menjadi tanaman komoditas utama perkebunan ini. Pada tahun 1912 terdapat tanaman yute jawa. Tanaman ini memiliki fungsi sebagai penghasil serat alam dan penyerap CO2 yang sangat baik untuk proses fotosintesis. Tanaman yute merupakan tanaman sekunder. Keuntungan dari tanaman yute jawa adalah minim biaya perawatan dan dapat tumbuh di tanaman serat nanas. Pada masa awal  pertumbuhan tanaman serat nanas di Mento Toelakan memberikan hasil yang menggembirakan. Tanaman serat nanas rupanya sangat cocok dengan kondisi tanah dan iklim di Mento Toelakan. Masa produktif tanaman serat nanas tergolong lama mencapai puluhan tahun. Agar tetap produktif serat nanas yang telah berusia 20 tahun diremajakan atau diganti dengan tanaman yang baru.

            Serat yang dihasilkan Onderneming Mento Toelakan di kategorikan sebagai salah satu yang terbaik di Hindia-Belanda. Kualitas serat Mento Toelakan dibuktikan dengan sertifikat penghargaan yang diperoleh perkebunan Mento Toelakan. Agar dapat mempertahankan predikat penghasil serat terbaik, perkebunan Mento Toelakan menanam tiga jenis serat nanas ketiga serat nanas memiliki karakter atau ketahananan hasil yang berbeda-beda. Tiga jenis serat nanas yang ditanam di perkebunan Mento Toelakan diantaranya agave rigida,agave cantala dan agave sisalana. Agave cantala memiliki karakter lebih bandel dan berumur panjang, sedangkan agave sisalana lebih banyak menghasilkan serat. Salah satu serat nanas yang di rekomendasikan untuk ditanam di perkebunan yang kurang subur adalah agave cantala. Jenis serat nanas ini memiliki usia produksi yang lebih panjang. Serat yang didapatkan dihasilkan dari jenis serat nanas agave cantala adalah sekitar lima persen.

            Pada tahun 1930 Mento Toelakan telah menemukan jenis serat yang paling cocok untuk dibudidayakan yaitu agave sisalana. Mento Toelakan juga menjadi salah satu sentra pembibitan serat nanas. Baik hasil panen maupun bibit dari perkebunan lantas di tawarkan ke berbagai penjuru daerah di Hindia-Belanda. Perusahaan mendatangkan alat-alat modern untuk menunjang kegiata pengolahan serat. 1911 Cultuurmaatschappij Mento Toelakan membeli mesin untuk pengolahan dan pembersih serat. Uji coba mesin pembersih serat dilakukan psds 25 April 1911. Mesin-mesin digunakan untuk mengolah serat mentah menjadi serat setengah jadi. Serat setengah jadi ini nantinya di bawa ke pabrik-pabrik tekstil dalam bentuk benang atau serat yang sudah dipinal.

            Perkebunan Mento Toelakan juga menggunakan teknologi traktor guna menggarap lahan perkebunan mereka. 1913 traktor mulai di perkenalkan untuk mengolah tanah sehingga dapat mengolah lahan secara efektif dan efesien. Berbagai kemajuan teknologi yang digunakan di perkebunan tidak di imbangi dengan sistem pengairan yang memadai. Sistem pengairan masing menggunakan pengairan yang ada di sekitarnya. Hal ini berdampak pada pengairan lahan perkebunan saat musim kemarau yang sulit mendapatkan pasokan air karena bergantung pada tadah hujan. Untuk mempermudah pengangkutan hasil panen, perkebunan membuat jalur lori yang menghubungan kawasan perkebunan dengan pabrik pengolahan serat. Pembuatan jalur lori yang menghubungkan kawasan perkebunan dengan pabrik pengolahan serat. Lori bisa ditarik oleh lokomotif kecil,sapi,atau kerbau dan manusia. Penggunaanya tergantung jarak atau beban yang ditarik. Pada perkebunan Mento Toelakan terapat dua jenis lori, yaitu lori yang menggunakan rel dan lori yang menggunakan gantungan atau semacam gondola.

            Bedasarkan struktur organisasi, pengusaha (onernemer) menempati posisi puncak. Posisi tinggi selanjutnya adalah administrator manajer perkebunan. Ada ondernemer yang merangkap sebagai administrateur, termasuk Mento Toelakan pada periode awal. Jika perkebunan adalah bagian dari perusahaan,administrator bertanggung jawab terhaap direksi perusahaan. Di perkebunan sendiri,administrator yang menempati posisi puncak. Jabatan tertinggi yang bisa diraih bumiputra di Onderneming Mento Toelakan adalah Hoofd Mandoor atau kepala mandor. Pada 1924 administrator perkebunan berganti P.W.C Blankwaardt yang memiliki banyak pengalaman dalam kepengurusan perkebunan di jawa, diangkat sebagai administrator handal. Ia juga memiliki relasi yang luas. Relasi memiliki Blankwaardt sangat di butuhkan untuk mengembangkan roda bisnis Onderneming Mento Toelakan. Pendekatan Blankwaardt untuk membangun relasi dunia bisnis juga dilakukan melalui pernikahan putrinya. Helena P.F Blankwaardt, anak kedua Blankwaardt dinikahkan dengan anak pemimpin perusahaan S.F Djatiwangi di Cirebon.

 

Kamis, 10 Juni 2021

BAB II"Perusahaan dan Perkebunan Serat di Hindia Belanda"

 

      Perusahaan Dan Perkebunan Serat Di Hindia Belanda


           Serat merupakan komoditas ekspor hindia belanda yang tidak kalah penting dengan hasil produksi perkebunan lain seperti teh, kopi, tembakau dan gula. Serat sangat dibutuhkan sebagai bahan pembuatan beragam kerajinan, tekstil, kertas, sikat, perabot rumah tangga, dan tali. Selain itu, jenis serat juga beraneka ragam, ada yang lembut, halus, kuat, dan keras. Semuanya dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dunia selama periode kolonial.

     Namun demikian, setelah memperhatikan berbagai kajian tentang tanaman komoditas di vorstenlanden, ternyata tanaman serat nanas adalah yang paling minim diperbincangkan. Tanaman serat nanas masih kalah pamor dengan kopi, tebu, tembakau, dan teh. 

A.   Komoditas Serat Di Hindia Belanda

    Produksi serat dapat dibagi menjadi serat keras dan serat halus. Meskipun jawa sangat subur, produksi serat keras dan halus masih kurang optimal. Penyebabnya adalah baik pengusaha maupun gubernemen masih terpaku pada produksi kopi, gula, dan tembakau yang memiliki nilai jual lebih tinggi di pasar dunia. Tidak mengherankan apabila hasil ekspor serat keras dari hindia belanda masih tertinggal dari filipina, meksiko, dan afrika timur. Produksi serat tekstil yang halus juga masih dalam skala kecil. Malahan, produksi serat kertas menjadi karton hanya diproduksi di satu pabrik di pulau jawa.

1.     Serat Untuk Tali Keras

            Dalam memenuhi kebutuhan akan tali keras di berbagai belahan dunia, terdapat berbagai macam serat yang digunakan. Dua jenis serat di antaranya adalah serat nanas dan serat abaka. Serat nanas (agave sp) dibudidayakan di hindia belanda secara eksklusif di pulau jawa. Tanaman serat nanas memiliki beberapa manfaat. Kandungan serat yang berkualitas menjadikan tumbuhan ini dibudidayakan secara masif sebagai bahan baku pembuatan tali. Serat nanas diperoleh melalui proses dekortikasi atau proses pengolahan untuk memisahkan serat daun agave sp karena serat nanas diperoleh dari daun, maka dikategorikan sebagai serat daun.

2.     Serat Sikat

            Di hindia belanda, terdapat serat flapper dan serat aren yang akan diolah menjadi barang bernilai berupa serat sikat. Pada umumnya, serat flapper disebut oleh orang inggris sebagai "coir fiber”. Sedangkan, orang belanda menyebut kelapa sebagai serat kelapa dapat dimanfaatkan sebagai serat sikat yang fiber "klapper." berguna untuk alat-alat rumah tangga. Permintaan akan serat flapper meningkat secara pesat pada abad XIX. Serat ini mempunyai keunggulan dalam hal elastisitas yang disertai dengan kemampuan daya tahannya yang tinggi, baik di udara maupun di dalam air. Serat flapper pada awal abad XX hanya dihasilkan dari ceylon (srilanka), india bagian selatan terutama dari pantai malabar dan madras yang saat itu menjadi koloni inggris serta pulau-pulau disekitarnya hingga eropa dan amerika utara. Sedangkan hindia belanda yang menghasilkan koprah nelampaui india tidak menghasilkan produksi serat flapper. Bahan baku serat sikat berikutnya adalah serat aren. Serat aren (arenga saccharifera) mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap air. Dengan sifatnya yang elastis dan kasar menjadikan serat ini kurang cocok digunakan untuk tali. Serat ini sering dimanfaatkan oleh penduduk lokal untuk tujuan tertentu, namun terdapat permintaan dari eropa khususnya untuk serat sikat.

3.   Serat Untuk Bahan Tekstil

            Serat yang dihasilkan di hindia belanda juga dapat dimanfaatkan untuk memenihi kebutuhan dalam produksi tekstil diantaranya adalah kapas, rami, dan serat yute. Namun, budidaya kapas ini mengalami permasalahan yang disebabkan oleh kondisi tanah dan pengaruh iklim yang kurang sesuai. Pada masa awal pertumbuhan kapas membutuhkan curah hujan yang tinggi. Sedangkan, saat pohon kapas mulai berbunga, curah hujan yang tinggi sangat berbahaya. Tanaman kapas juga rentan terhadap hama serta penyakit yang penting. Oleh karena itu, budidaya kapas sangat memerlukan ketelatenan yang tinggi, sedangkan penduduk hindia belanda sering lalai dalam perawatannya. Tanaman serat untuk tekstil berikutnya adalah rami. Rami atau yang sering disebut serat india atau rameh merupakan serat kulit kayu dari beberapa varietas boehmeria nivea. Kelemahan serat rami terletak pada tingkat kerapuhan serta kemampuannya untuk bersaing dengan budidaya rami di cina terutama di hupeh yang lebih dahulu popular.

4.     Serat Bahan Pengisi Material

            Budidaya tanaman di hindia belanda juga menghasilkan serat yang daoat digunakan untuk mengisi material atau bend. Serat tersebut diperoleh dari kapuk dan tanaman sutra. Eksistensi kapuk jawa (ceiba pentandra) yang biasa disebut oleh orang jawa dengan nama randu merupakan pohon yang paling penting dari hindia belanda Selain itu, ada pula serat yang dihasilakan dari tanaman sutra yang dibudidayakan di hindia belanda. Tanaman sutra di jawa disebut dengan widoeri atau sadoeri, dalam bahasa sunda ladori dalam bahasa madura liduri. Umumnya permintaan serat sutra tidak terlalu banyak karena ketahanannya yang lebih rendah dibandingkan dengan kapuk. Budidaya tanaman sutra ini lebih mudah karena tidak membutuhkan tanah untuk hidup.

5.     Serat Bahan Anyaman

            Serat yang digunakan untyk anyaman di antaranya rotan, bamboo, pandan dan puron. Salah satu penghasil serat anyaman adalah rotan. Rotan merupakan komoditas hutan yang paling penting. Pada 1914, hindia belanda mengekspor lebih dari 42.000 ton diantaranya dihasilkan dari sulawesi 20.000 ton, kalimantan 12.000 ton, dan sumatra 10.000 ton. Rotan juga dapat ditemui di jawa, tetapi batangnya tidak mempunyai nilai komersial yang besar. Selain itu hasil panen rotan di jawa tidak mencukupi kebutuhan penduduk lokal. Untuk mengatasi hal tersebut, ada pasokan rotan bermutu rendah yang diangkut dari kalimantan ke jawa. Selain rotan, serat anyam lainnya adalah bambu. Bambu merupakan tanaman yang sering dijumpai di wilayah hindia belanda. Karena beberapa negara asia lain juga menghasilkan bamboo, maka hindia belanda tidak melakukan ekspor dalam bentuk barang-barang praktis. Yang diekspor adalah topi bambu dalam jumlah yang besar. Selain itu, hindia belanda juga menghasilkan serat puron (lepironia mucronata rich). Tanaman serat ini tumbuh di kalimantan tenggara, yaitu martapura, kandangan dan amoentai. Lebih dari sebelas juta tikar ditenun setiap tahun. Spesies ini telah tersebar luas diseluruh kepualaun hindia sampai australia dan madagaskar untuk pembuatan topi jerami. Tikar yang dihasilkan dari riau dan palembang, diduga berasal dari tumbuhan yang sama. Produksi tikar kalimantan, banjarmasin atau puron yang kokoh dan tertutup rapat adalah salah satu produk terpenting dari kalimantan.

6.   Serat untuk kertas

            Terdapat satu pabrik kertas di jawa yang memproduksi karton menggunakan bahan jerami, padi, bambu, tumbuh tebu, dan limbah serat. Penggunaan jerami untuk bahan baku pembuatan kertas juga dilakukan oleh dua puluh pabrik karton milik belanda di koloni gambut groningen. Terdapat pabrik karton yang menggunakan bahan residu destilasi dari minyak sereh di weltevredan. Namun, pabrik ini hanya bertahan sebentar saja. Di jawa juga terdapat pengolahan kertas yang sering disebut sebagai kertas jawa. Kertas ini diproduksi oleh penduduk asli dari kulit pohon daluwang (ventilasi brotossonetia papyrifera). Meningkatnya permintaan akan kertas di negara beriklim sedang menyebabkan penduduk secara eksklusif diarahkan untuk memenuhi tuntutan pasar tersebut dengan menanam tanaman penghasil kertas terutama bambu.

B.     Perkebunan Serat Di Hindia Belanda

            Produksi serat telah mempunyai peran penting dalam menghasilkan berbagai barang yang bernilai tinggi. Pada masa kolonial, penduduk hindia belanda tidak lagi menghasilkan serat untuk kepentingannya sendiri, melainkan diberdayakan untuk memenuhi ekdpor yang sangat menguntungkan. Dengan kekayaan alam yang berlimpah serta kondisi alam yang mendukung, bebagai upaya dilakukan oleh pemerintah kolonial belanda maupun pihak swasta untuk mencari pundi-pundi keuntungan dari daerah koloni. Salah satu caranya yaitu dengan mengenalkan budidaya tanaman ekspor yang laku di pasar internasional kepada penduduk lokal. Di pulau jawa, serat dihasilkan dari berbagai perusahaan di berbagai daerah.

            Adanya indikasi produksi serat tersebut telah menunjukkan peranan penting penduduk hindia belanda dalam memasok permintaan serat yang terus mengalami peningkatan. Lonjakan hasil pertanian dan perkebunan membuat semakin banyak perusahaan dan perkebunan serat didirikan sejak akir abad  hingga awal abad. Perkebunan mento toelakan yang berada di wilayah wonogiri juga menjadi pusat penting dalam menghasilkan serat untuk mencukupi kebutuhan karung goni. Mento toelakan merupakan salah satu perusahaan penghasil serat di hindia belanda yang sukses. Dan Pada masa itu, jumlah perkebunana yang menghasilkan serat di vorstenladen lebih sedikit daripada perkebunan kopi, tebu, tembakau, dan teh. Oleh karena itu, ulasan mengenai mento toelakan memiliki nilai keunikan tersendiri.

 

BAB I "Tanah Pasewan Di Bumi Vorstenlanden"

 

                                                Tanah Pasewan Di Bumi Vorstenlanden

Awal abad XIX hingga awal abad XX merupakan puncak dari ekonomi perkebunan selama masa kolonialisme Belanda. Modal-modal asing ditanamkan guna mengeksploitasintanah-tanah milik penguasa lokal di Vorstenlanden Surakarta. Tanah-tanah-tanah apanage (lungguh) yang dikelola oleh para bangsawan sebagai upah pengabdian, disewakan kepada pemilik modal.

Wilayah Vorstenlanden Surakarta memang terdiri dari banyak lahan yang subur, gemah ripah loh jinawi. Wilayah yang masih kurang subur pun masih dapat dikelola dengan tanaman-tanaman komoditas tertentu yang tahan dengan kondisi tanah. Artinya, setiap jengkal area Vorstenlanden Surakarta (Kasunan dan Mangkunegaran) diperebutkan oleh para pengadu nasib dari negeri seberang lautan. Pihak istana pun tidak mau ketinggalan. Baik Sunan maupun Mangkunegara berlomba untuk bercocok tanam di lahan-lahan yang dimiliki.


A.    Masa Perintisan (1817-1830)

   Bedasarkan dari perjanjian gayatri (1755) kerajaan mataram surakarta diwajibkan untuk memberikan sebagian dari wilayahnya kepada pangeran mangkubumi ( sri sultan hamengkubuwono I) kesultanan daerah Yogyakarta berdiri sejajar dengan kasus surakarta. Kasusunan surakarta memberikan sebagian wilayahnya kepada R.M.said bedasarkan dari perjanjian salatiga pada tahun 1757. Kadipaten mangkubuwana berdaulat pada bawahan pimpinan R.M.said (KGPAA Mangkunegara I).

    Para pejabat tanah berhak untuk mewariskan tanah lungguh tersebut kepada para keturunan sampai pad generasi keempat. Semakin besar jumlah anggota keluarga, semakin komplek permasalahan mengenai pembagian luas tanah.lahan yang harus di bagikan berlipat ganda sesuai dengan pertumbuhan jumlah anggota keluarga penerima tanah lungguh.

    Dalam sistem tanah lungguh munculah para pejabat yang bertugas sebagai pemungut pajak yang disebut dengan bekel (penarik pajak), pengolahan lahan dalam sistem tanah lungguh adalah para sikep (petani penggarap) sawah.para bekel(penarik pajak) membayar pajak pajak kepada patuh (pegawai) Dengan pemberian target tertentu oleh para patuh(pegawai) sehingga beban petani menjadi lebih berat.

   Para penarik pajak merangkap sebagai pengelola lahan tanah lungguh para karyawan yang tinggal dikota sekaligus menjadi kepala desa. Rakyat yang inginw menggarap lahan harus meminta izin terlebih dahulu kepada penarik pajak dikarenakan setiap penarik pajak memiliki piagam yaitu surat perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban penarik pajak terhadap karyawan.

    Pada abad XVIII banyak lahan di Vorstenlanden disewakan kepada orang Toonghoa, lahan tersebut merupakan tanah milik raja atau tanah lungguh dari para pejabat tinggi kerajaan, pada akhir abad XVIII para residen ikut menyewa lahan tanah lungguh.dan memasuki abad XIX Thomas Starmford Rafles selaku gubernur jawa (1811-1816) telah memperkenalkan sistem sewa tanah yang disebut dengan landernt (sewa tanah). rafli menarik sewa tanah dengan dasar penguasa lokal merupakan pemilik dari semua tanah yang digarap oleh rakyat. Apabila penguasa lokal telah takluk maka haknya akan jatuh keadaan pemerintah maka dari itu rakyat diwajibkan untuk membayar sewa tanah yang dikerjakan berupa uang.

   Pada tahun 1817 seorang residen wilayah vorstenlanden Yogyakarta yaitu Nahiijs van burgst telah menyewa tanah milik sultan. Ia memiliki jaringan pertemanan yang luas di kalangan pengusaha swasta di belanda. Para pengusaha belanda berkeluh dengan iklim negatif dalam dunia investasi akibat perang. Burgst telah menanggapi dari keluh kesana tersebut dan berusaha mencarikan solusi dengan cara melakukan perbincangan dengan para pejabat vostenlanden agar dapat bersedia menyewakan tanahnya kepada pengusaha swasta. Dari penyewaan tanah kepada pengusaha swasta dapat memberikan keuntungan bagi pemerintahan kolonial untuk segera melunasi hutangnya. 

   Awal tahun 1819 para investasi swasta masuk ke Vorstenlanden Yogyakarta dengan perantaraan nahuijs dan patih danureja IV, Pengusaha asal inggris dan prancis turut menyewa lahan apanage (tanah lungguh) di yogyakarta.para pemodal swasta menyewa lahan dala jangka panjang. Para pemodal swasta begitu menikmati menjadi tuan-tuan tanah yang menggantikan para karyawan ditahan tanah lungguh. 

    Pada 6 juli 1823 gubernur jendral G.A.G.Ph. baron van der capellen (1816-1826) telah menguluarkan sebuah peraturan yang hanya diperbolehkan untuk menyewa tanah sebagai taman bukan untuk dijadikan perkebunan tanaman komoditas. Dasar pertimbangan capellen adalah penyewaan tanah oleh orang eropa justru menyebabkan tidak stabilnya perekonomian penguasa local.

B.    Masa Tarik Ulur Sewa Tanah (1830-1912)

  Sistem sewa tanah memasuki babak baru yaitu masa Tarik ulur (1830-1912). Masa ini ditandai dengan perombakan dan rencana pemerintah colonial mengadakan reorganisasi agraria. Tahun 1830an, ekonomi perkebunan Kembali menggeliat. Pesewaan tanah apanage muncul istilah bekel putih dan bekel cina. Bekel putih adalah penyewa tanah kebangsaan eropa yang membayar pajak dan menanggung semua kewajiban sikep dilahan sewaan. Pada 1857, pemerintah colonial belanda mengeluarkan kebijakan baru dimana sewa tanah mencapai 20 tahun, kebijakan ini berlaku di Vorstelenlanden Surakarta dan Yogyakarta. Kebijakan ini dalam Staatsblad van Nederlandsh – Indie No. 116, 1857.

  Pada Tahun 1870 undang – undang agraria (Agrarische Wet) disahkan. Tahun 1884 melakukan pembaharuan kebijakan tetapi lama penyewaan tidak berubah. Tahun 1891 pemerintah colonial menambah durasi penyewaan hingga 30 tahun berdasarkan Staatsblad van Nederlandsch-Indie No 255, 1981. Tahun 1890 an, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan para priayi yang lahannya disewakan. Para penyewa tanah mulai mengalami permasalahan dengan pemegang juga pemilik tanah. Mendirikan organisasi De Vereeniging van Solosche Landhuurderste  Soerakarta (perkumpulan penyewa tanah solo di Surakarta) pada 1882.

  Pada Tahun 1909 nama organisasi berubah yaitu Solosche Landhuurders Vereeniging (perkempulan penyewa tanah solo) perkumpulan ini bertujuan untuk menghimpun kekuatan saat terjadi sengketa dengan penguasa lokal. Adipati Mangkunegara IV (1853-1881) sebagai pemimpin mangku negara melihat ekonomi perkebunan penyewa tanah kurang menguntungkan keuangan praja dan kawula (rakyat). Beliau meminta untuk tidak memperpanjang kontrak sewa tanah. Tahun 1854 Gubernur Jendral J.C Rijst meminta Residen Buschken untuk mengevaluasi praktik persewaan tanah diwilayah Vorstenlanden. Tahan1857 usulan tersebut disetujui oleh Menteri P, Mijer. Tahun 1860 pemerintah colonial mengizinkan landhuurders untuk memperpanjang kontrak sewa tanah. Mulai 1862-1871 Mangkunegara IV menarik tanah apanage yang dikuasi para sentana dan anggota lagiun Mangkunegaran.

  Pada Tahun 1879 Mangkunegara IV membuat kebijakan tersendiri bagi tanah – tanah yang ada di kawedanan wonogiri. Dalam pranatan tersebut dijelaskan bahwa kawula Mangkunegaran yang tinggal di kawedanan wonogiri dan karanganyar diizinkan untuk mengolah tanah ladang. Dengan peraturan tersebutmasih menunjukkan tanah apanage di wilayah Mangkunegara. Pada 1879, setelah mangkunegara IV mangkat, kebijakan penarikan sistem aparage berakhir diganti Mangkunegara V membagikan Kembali lahan apanage kepada sentana, narapraja dan anggota legion sebagai pengganti gaji. Abad XX pemerintah kolonial memulai kebijakan reorganisasi agrarian.

  Khasanah menginterprestasikan bahwa pemerintah colonial ingin menghapus ikatan feudal yang memiliki pengolah lahan, pemegang lahan dan pemilik lahan. Pemerintah colonial ingin meninjau ulang kedudukan Zelf bestuur (pemerintah mandiri) dari daerah swapraja (Vorstenlanden). Pada Agustus 1909, de Graaff ke Surakarta untuk menindak lanjuti rencana reorganisasi agraria. Pada 22 November 1909, de Graaf mengirim rencana reorganisasi pada residen van wijk. Pada mei 1910 de Graaf berkunjung ke Vorstelanden untuk mensosialisasikan kegijakan reorganisasi agraria yang direalisasikan. Pada agustus 1911 rencana organisasi baru untuk Vorstenlanden dibuat oleh direktur pemerintahdalam negeri Tollenar menggantikan de Graaff. Pada 26 Agustus 1911 Tollenar membahas rencana tersebut dan kebijakan tersebut didukung oleh investor di belanda.

C.    Masa Reorganisasi Agraria (1912-1927)

  Masa reorganisasi agraria ditandai dengan keyakinan penuh pemerintah kolonial terhadap perubhaan sistem agraria di Vorstenladen. Masa reorganisasi agrarian adalah periode eksekusi rencana-rencana yang telah dibuat selama masa tarik ulur.

  Pada tahun 1912, Gubernur Jendral secara resmi memnta Sunan untuk tidak memperpanjang kontrak sewa tanah lebih dari aepuluh tahun. Saat reorganisasi segera dilaksanakan, Residen van Wijk digantikan oleh Sollewijn Gelpke. Selama reorganisasi, Gelpke semoat mengeluh. Residen Gelpke dibantu oleh beberapa orang, di antaranya Asisten Residen H.A. Neys, Controlleur J.P. Gulik, pejabat setingkat Adjunct Controlleur, sebuah kantor besar, mantra-mantri, dan para petugas lapangan.

  Reorganisasi agrarian menimbulkan dampak yang besar bagi kehidupan di Vorstenladen. Dampak tersebut dirasakan oleh pemerintah kolonial hingga pemerintah desa, penguasa okal hingga pejabat daerah, dan pemodal swasta hingga para petani. Demikianlah ekonomi perkebunan telah memengaruhi peradaban Vorstenladen Surakarta. Modernisasi adalah salah satu manfaat yang diperoleh dari ekonomi perkebunan.

 

Identitas buku "Onderneming Mento Toelakan"

Identitas Buku




 

Judul Buku  :  Onderneming Mento Toelakan  (Dinamika Perkebunan Serat di Pinggiran Wonogiri 1897-  1996).  

Penulis : Dennys Pradita, Adi P.S. Wardhana, Meilinia Fathonah, Siti Rhohana, Hany Nurpratiwi, Afriani Nurhastuti, Toni Prasetyo, Efel Indhurian.

 Editor : Adi P.S. Wardhana dan Dennys Pradita. Kata Pengantar : Prof. Dr. Wasino, M.Hum. Layout : Yusuf Deni Kristanto, S.Pd. 

Desain Cover : Dennys Pradita, M.A. 

Gambar Cover : Koleksi Univ. Leiden Cetak 1 Maret 2021 14,8cm x 21 cm, 147 Halaman ISBN : 978-623-6948-88-0 Diterbitkan oleh Penerbit Lakeisha (Anggota IKAPI No.181/JTE/2019) Redaksi Jl. Jatinom Boyolali,Srikaton,Rt.003,Rw.001, Pucangmiliran,Tulung, Klaten, Jawa Tengah. HP. 08989880852, Email : penerbit_lakeisha@yahoo.com. Website : www.penerbitlakeisha.com.

BAB IV LAYU SEBELUM BERKEMBANG : MENGHIDUPKAN KEMBALI INDUSTRI SERAT (1942-1996)

BAB IV LAYU SEBELUM BERKEMBANG : MENGHIDUPKAN KEMBALI INDUSTRI SERAT (1942-1996)             Pada periode 1940 an merupakan masa yang tida...